Selasa, 18 Oktober 2011

Satir, Bermuka Ganda

0 komentar
Puisi “Dusta” bukan ayat suci. Bila puisi itu ditaruh dalam realitas sosial sehari-hari, tak bisakah menjelma sejenis “ayat sosial” yang bersuara melalui sindiran? Puisi itu bisa menggaung di sela dusta-dusta manusia yang beragam bentuk aksi dan cara menyembunyikannya. Puisi itu juga bisa tampil sendirian tanpa kehilangan sinyal konteks dan makna. Sekali lagi, puisi itu sama sekali bukan ayat suci, semata gubahan seorang penyair di Dunia Ketiga yang marak didera korupsi dan dusta ekonomi-sosial-politik dan ia hendak bicara perkara itu melalui seni-kata. Ia bukan berdiri sebagai mubaligh melalui puisi itu. Apakah puisi itu tak universal?

Dusta merupakan perilaku universal, seuniversal cinta dan kejahatan. Puisi Sahlul Fuad merekam serakan dusta, dusta yang menyusup ke ruang sakral, misalnya dalam puisi “Umrah”:

Tuhan, kami menang tender usaha
Ke rumah-Mu kami bersilaturahmi
Kami bawakan Engkau sekeranjang dosa

Agar kami tak terendus polisi.
Tuhan, kami ingin dapat proyek lagi
Ke rumah-Mu kami ziarah
Kami bawakan Engkau sekeranjang doa
Agar kami menang tender lagi.
Satir. Juga bermuka ganda. Demikianlah tampang puisi “Umrah” itu. Kosakata profan dan kosakata sakral teraduk dan berbaur dalam satu puisi (Tuhan, tender usaha, dosa, polisi, proyek, ziarah). Puisi itu mengoplos teologi, ekonomi, dan kriminologi. Puisi itu memotret profanisasi terhadap yang sakral ataukah sakralisasi atas yang profan? Keduanya. Gambaran dalam potret itu bermakna pemuliaan ataukah penodaan? Juga keduanya. Keunikan puisi itu menawarkan belahan sekaligus penyatuan antara urusan dunia dan akhirat. Urusan profan yang dirasukkan ke wilayah sakral, juga sebaliknya, wilayah sakral yang dijambret demi urusan profan.

Leave a Reply

Labels

 
33 Puisi Dusta © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

You can add link or short description here